GUA MAMPU LEGENDA YANG TERKUTUK

0 0
Read Time:9 Minute, 57 Second

BONE (SULSEL) – SULAWESI EKSPRESS, Goa Mampu atau biasa disebut “Sijello To Mampu” merupakan salah satu tempat wisata yang bersejarah dengan luas sekitar 2000 meter persegi dan dikelolah oleh Dinas Pariwisata Kab Bone. Goa terluas di Indonesia ini terdapat 35 KM sebelah utara kota Watampone, Bone.

Goa Mampu adalah gua terluas di Sulawesi Selatan. Terletak di Desa Cabbeng, Kecamatan Dua Boccoe, Kabupaten Bone. Goa legenda ini jauhnya kira-kira 170 km dari kota Makassar, sejauh 35 km dari Kota Watampone.

Dalam goa kesohor itu tampak stalagmites dan stalagtites, terdapat susunan batu yang mirip dengan sosok manusia dan binatang, semuanya memiliki legenda yang nyata.

Gua yang terletak di Bumi Arung Palakka ini, tidak hanya sekadar gua. Terlebih bagi masyarakat di sekitar Gua Mampu, demikian nama gua ini. Gua Mampu, sarat dengan cerita legenda yang begitu dipercaya.

Gua Mampu yang luasnya sekitar 2000 meter persegi, terletak di Desa Cabbeng, Kecamatan Dua Boccoe, yang berjarak 35 kilometer dari Watampone, ibukota Kabupaten Bone. Goa itu berada di lereng gunung yang puncaknya terdapat kuburan. Kuburan itu disebut Pattanre Wara. Tak jauh dari kuburan ada beton berdiri bertuliskan 250 m dan itu peninggalan Belanda.

Legenda Alleborenge Ri Mampu, yang berkembang seputar gua, diyakini secara turun-temurun, sebagai suatu kebenaran. Konon, di Gua Mampu ini pernah berdiri Kerajaan Mampu. Namun karena kutukan dewa, penghuni kerajaan ini, termasuk binatang dan benda-benda lainnya berubah menjadi batu.

Bongkahan batu yang mirip manusia, binatang, dan lainnya, memang banyak ditemui di dalam gua ini. Gambaran ini bak diorama kehidupan manusia di jaman dulu, di masa-masa Kerajaan Mampu.

Legenda yang berkembang tentang Gua Mampu ini, juga ditemui dalam lontar Bugis kuno, yang berkisah tentang perkampungan yang terkena kutukan sang dewata. Di dalam Gua Mampu, juga ditemui stalagtit dan stalagmit, yang menambah keindahan interiornya.
Gua yang terbentuk dari proses alam, selama ratusan tahun ini, belum seluruhnya berhasil ditelusuri. Bahkan belum separuhnya. Baru 700 dari 2000-an meter persegi yang berhasil dilihat.

Namun demikian, cerita legenda yang berkembang pada masyarakat tentang Gua Mampu, telah membuat gua ini dikunjungi banyak orang. Motivasinya macam-macam. Ada yang sekadar melihat-lihat, ada pula yang mencari berkah,yang rela bermalam di dalam gua.

Para pengunjung, tidak bisa langsung begitu saja memasuki gua. Mereka harus melengkapi dirinya dengan alat penerangan. Sejumlah bocah kecil dengan obor bambu di tangan, telah siap mengantar pengunjung menelusuri gua.

Bocah-bocah ini selain menyewakan obor bambunya, juga mampu menjadi pemandu gua yang baik. Mereka paham cerita seputar gua, lengkap dengan bumbu-bumbunya.

Hari Minggu, dan hari besar keagamaan, menjadi hari-hari yang ditunggu anak-anak ini. Pada saat-saat itu pengunjungnya membludak, yang artinya mendatangkan rezeki lebih banyak buat mereka.

Sayangnya, obor bambu yang banyak dipakai ini, asapnya menyisakan arang hitam yang menempel di atap dan dinding gua. Sehingga kesan kotor, sulit dihindari.

Namun meski demikian, kawanan kalelawar yang bersarang di gua ini, masih setia mendiami Gua Mampu. Bahkan kehadirannya yang telah puluhan tahun ini, mewarnai Gua Mampu.

Kesakralan Gua Mampu, masih terjaga hingga kini. Tinggal bagaimana masyarakat sekitar gua, menjaga cerita legenda yang menghiasi gua ini.

Goa Mampu adalah gua terluas yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan, legenda Goa Mampu ini jauhnya kira-kira 140 km dari kota Makassar dalam penambahan untuk stalagmites dan stalagtites terdapat susunan batu yang mirip dengan wujud manusia dan binatang, semuanya memiliki legenda yang nyata.

Gua Mampu Legenda yang terkutuk

Jangan pernah mengancungkan telunjukmu ke muka seseorang. Sebab kamu akan mengalami nasib yang sama dengan penduduk sebuah desa purba di kaki Gunung Mampu. Desa yang terletak di Kabupaten Bone, belahan timur provinsi Sulawesi Selatan.

Desa purba itu kini telah punah. Seluruh penduduknya mati menggenaskan kena kutuk dewa. Bagaimana kisahnya ? mari kita ikuti bersama :

Kokok ayam jantan berkumandang. Pagi menjelang. Satu-persatu penduduk desa purba keluar rumah menuju sawahnya masing-masing. Hawa dingin menusuk tulang. Kicau burung bersahutan.

Areal persawahan terhampar luas di bawah bayang Gunung Mampu yang tinggi menjulang sekitar 250 mdpl. Anak beranak berjalan beriringan menyusur pematang.

Dalam sekejap rumah-rumah di desa purba menjadi senyap. Dimusim tanam padi seperti ini, orang malu berdiam dirumah. Kecuali disebuah rumah panggung diujung jalan desa tepat ditepi hutan.

Dengan malas, Lapute beranjak dari pembaringannya. Ayah ibunya sudah berangkat ke sawah. Bahkan kini di desa tersebut, tinggal dia satu-satunya manusia yang masih berada dirumahnya pagi itu.

Aaaaahhmmm…. ! Lapute menguap. Ia berjalan menuju perigi untuk mandi. Selanjutnya bersalin pakaian dan berdandan. Rutinitas yang dilakoninya setiap hari. Lapute sadar betul dengan anugerah kecantikan wajah dan kemolekan tubuh yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Maka dari itu, ia merasa wajib untuk menjaganya. Tepatnya menonjolkan kelebihannya itu.

Lapute nama aslinya adalah Apung Ellung Mangenre adalah kembang desa Purba. Ia ibarat tumbuhan yang hijau segar daunnya, merah merona bunganya dan harumnya berembus dibawa angin kemana-mana.

Lapute adalah gadis yang tengah berada dipuncak pesona. Bibirnya bak gunung berkawah cekung. Lentik matanya seolah mampu menahan sebatang lidi untuk tidak jatuh bila diletakkan di atasnya.
Tapi sayang, sayang seribu sayang. Seperti tipikal seluruh penduduk desa purba pada umumnya, Lapute juga memiliki sifat deging. Egois dan berkepala batu.

Bukan rahasia lagi di seantero jazirah Bugis kala itu. Penduduk desa purba terkenal dengan tabiat kepala batunya. Jangan sekali-kali mengajak mereka berdebat tentang sesuatu hal. Bila pun terpaksa, usahakan menjaga jarak dari mereka paling kurang dua langkah kaki rusa yang tengah dikejar macan.

Kawan, penduduk desa Purba jika berdebat dengan orang lain begitu gemar mengancungkan telunjuknya kepada lawan bicaranya. Telunjuk itu mengayun serupa kapak membelah kayu ke jidat orang. Berkali-kali, tanpa henti. Maka pada zaman itu, desa-desa lainnya segan menaruh persolan dengan penduduk desa purba.

Matahari sudah hampir sejajar dengan kepala. Lapute berhenti mematut-matut dirinya di depan cermin. Sebentar lagi ibunya pulang untuk memasak, sebelum kembali lagi ke sawah membawa bekal makan siang untuk ayahnya. Lapute tak mau ibunya menyaksikannya berlaku malas.

Ia kemudian menggelar alat tenunnya. Bersiap menyelesaikan sehelai kain yang cukup untuk dijadikan dua lembar sarung buat ibu bapaknya. Ia telah berjanji kepada mereka akan menyelesaikan tenunan itu. Janji sekaligus alasan yang membebaskannya dari keharusan bekerja di sawah seperti teman-teman gadisnya yang lain.

Pekerjaan sawah membuat kulit mereka gosong. Kuku-kuku berubah hitam dan rambut kering berantakan. Lapute secara teliti mengukur waktu kerjanya, agar tenunannya selesai bersamaan dengan berakhirnya musim tanam. Dengan begitu tak ada alasan kedua orangtuanya untuk memaksa ia membantu mereka di sawah.

Selain cantik, Lapute rupanya juga seorang gadis yang cerdik. Rutinitas Lapute itu tak berubah. Berlangsung hari demi hari dimusim tanam itu. Sama seperti hari ini. Matahari bersinar garang. Membuat hawa di dalam rumah berubah gerah.

Lapute pun memindahkan alat tenunnya ke teras rumah. Di mana angin bertiup semilir menyejukkan. Hawa sejuk pelan-pelan mengusap wajahnya. Kepala Lapute terantuk-antuk menahan kantuk. Tak sadar ia tertidur.

Di dalam tidurnya tanpa sengaja ia menendang jatuh alat tenunnya ke tanah. Lapute terbangun dari tidurnya mendengar suara alat tenunnya menimpa tanah.
Aiiiiiihhhhh… keluhnya dalam hati.
Rasa kantuk yang tersisa menahan niatnya untuk turun ke tanah mengambil alat tenunnya kembali. Dengan tetap berbaring seperti semula, Lapute memilih untuk berteriak meminta bantuan orang lain. Siapa tahu ada orang lewat yang mendengarnya.

“ Oeeeeeeee !!! tolong ambilkan alat tenunku di bawah rumah ! “ teriak Lapute.
Lapute mengulang sampai tiga kali teriakannya. Hatinya kesal karena tak sebatang hidung pun terlihat datang untuk memenuhi permintaannya. Dengan nada main-main ia pun mengulang teriakannya.

Kali ini ia mencoba menawarkan hadiah kepada orang yang bisa menolongnya. Ia sendiri tak serius dengan janjinya itu. Namun apa salahnya dicoba ? Siapa tahu berhasil ? Demikian pikir Lapute.

“ Oeeeeee ! yang menolongku mengambil alat tenun di bawah rumah akan kuberi hadiah ! “ teriak Lapute. Tanpa pikir panjang akan akibat perkataannya, ia melanjutkan sambil tersenyum jahil “ yang menolongku akan kujadikan suamiku “

Terdengar bunyi langkah kaki dari bawah kolong rumah. Lalu suara-suara yang mengangkat perangkat alat tenun. Derik anak tangga berbunyi satu persatu saat penolong itu melangkah naik keatas rumah.

Alangkah terkejutnya Lapute melihat sosok yang menolongnya membawa alat tenun ke atas rumah. Muka Lapute pias. Pucat serupa mayat. Sosok penolong itu setinggi diri Lapute.

Sekujur badannya ditumbuhi bulu-bulu berwarna coklat kemerahan. Panjang dan lebat. Tampak ekornya yang panjang menjuntai menyentuh lantai rumah. Mukanya bukan muka manusia. Mukanya, muka seekor kera.

Sang penolong itu adalah seekor Kera besar yang menakutkan. Lapute sontak berdiri hendak melarikan diri. Namun urung begitu mendengar sosok kera besar itu menegurnya.

Sungguh aneh. Kera itu mampu bercakap seperti manusia.
“ Hei. Kamu mau kemana ? bukankah kamu sudah berjanji akan memberi hadiah bagi yang menolongmu membawa naik alat tenunmu ini “ ujar kera besar itu mengingatkan
Lapute gugup. Perasaannya campur aduk. Takut, kecewa, heran.

“ Tatatata…tapi..kamu bububu..kan manusia “ ujar Lapute gugup sambiil mengancungkan telunjuknya ke arah muka kera.

Wajah kera berubah masam. “ Memang bukan. Tapi apakah kau ingat dengan ucapan-mu tadi. Kamu tidak mengatakan akan menikah dengan manusia yang membawakan alat tenunmu. Tapi kamu mengatakan ‘ yang membawakan alat tenunku’. Kamu jangan ingkar janji Lapute“

Badan Lapute mengigil-gigil. Ia adalah kembang desa purba. Gadis tercantik di antara yang cantik. Tamat sudah hidupnya membayangkan dirinya bersuamikan seekor kera. Seekor kera tetaplah kera, walau bisa berbicara seperti manusia.

Mengingat posisinya yang rumit itu, Lapute mencoba menyelamatkan masa depannya. Apa jadinya anak keturunannya kelak jika bapak mereka seekor kera. Lapute memberanikan diri untuk membantah perkataan kera besar itu. Sifat kepala batunya mencuat. Pendapat kera besar itu ditentangnya habis-habisan.

“ Kamu pasti salah mendengar perkataanku tadi. Jelas-jelas aku mengatakan ‘ barang siapa manusia yang membawakan alat tenunku’. Jadi kamu tidak termasuk di dalamnya wahai kera jelek “ bantah Lapute. Tak lupa ia mengancung-ancungkan jari telunjuknya kearah muka kera besar itu untuk mempertegas ucapannya.

“ Kamu berbohong Lapute ! “ kera itu bersikeras dengan keyakinannya.
“ Tidak ! kamu yang bohong. Kamu mencoba memanfaatkan situasi ini ! Dasar kera tidak tahu diri ! “ Lapute balik membantah dengan keras. Tetap dengan jari telunjuk yang terancung kemuka kera.

Mereka berdua memegang pendapatnya masing-masing. Lapute tetap tak mau mengalah.
“ Aku lebih baik menjadi batu daripada harus bersuamikan dirimu wahai kera jelek ! “ kata Lapute akhirnya.

Tiba-tiba … seperti lazimnya sebelum sebuah peristiwa luar biasa terjadi … petir menggelegar membelah angkasa. Kera besar itu berubah ke wujud aslinya. Rupanya ia seorang dewa yang menyamar menjadi seekor kera.

Tubuhnya lalu terangkat, melayang tinggi ke udara. Sebelum menghilang, dewa itu mengeluarkan suara keras yang menggema.
“ Hai Lapute ! karena kamu ingkar janji, maka kamu ku kutuk menjadi batu seperti keinginanmu ! Dan sejak hari ini, barang siapa penduduk desa Purba yang mengancungkan telunjuknya kepada orang lain, maka orang yang ditunjuknya itu akan berubah menjadi batu ! “ Dalam sekejap, Lapute pun berubah menjadi batu.

Matahari kembali keperaduan. Penduduk desa menghentikan pekerjaannya di sawah dan kembali ke rumah masing-masing.

Sesampai di teras rumahnya, kedua orang tua Lapute terkejut tidak kepalang. Anak kesayangan mereka ditemukan dalam bentuk onggokan batu. Tangis mereka pecah. Lalu mereka terlibat dalam pertengkaran hebat. Saling menyalahkan satu sama lain sebagai penyebab kejadian mengerikan itu.

“ Ini salahmu ! “ maki bapak Lapute pada istrinya. “ Coba seandainya kamu pulang cepat kerumah tadi sore “

Istrinya tak mau kalah. Balas memaki suaminya “ Tidak ! ini salahmu. Kamu yang melarangku untuk pulang cepat “

Keduanya berbalas maki sembari saling mengacungkan telunjuknya ke muka satu sama lain. Serentak keduanya juga ikut berubah menjadi batu kena tulah kutukan dewa.

Penduduk desa yang sempat mendengar tangis dan pertengkaran kedua orang tua Lapute datang berbondong-bondong menuju ke rumah itu. Mereka terpaku menyaksikan pemandangan tiga sosok anak beranak yang telah berubah menjadi batu.

Penduduk desa ramai memperdebatkan kejadian aneh itu. Masing-masing bersikukuh dengan dugaannya. Pertengkaran sesama penduduk desa jadi tak terelakkan. Seperti kebiasaan mereka setiap kali bertengkar, tak lupa sambil mengacungkan telunjuk kemuka lawan debatnya. Dalam tempo sesingkat-singkatnya semuanya ikut kena kutukan dewa. Seisi desa berubah menjadi batu tanpa kecuali.

Beberapa waktu kemudian desa tanpa penghuni itu terkena bencana tertimbun longsoran dari gunung Mampu. Tepat di bawah longsoran itu kemudian mengalir sungai bawah tanah berkelok-kelok melintasi tempat di mana desa itu (dulu) berada. Air sungai itu beratus tahun selanjutnya menyusut kering.

Dan terowongan bekas alirannya berubah menjadi gua dengan banyak ornamen batu yang menyerupai arca manusia dalam beragam bentuk. Orang-orang di zaman modern ini menamainya Gua Mampu.

Di Kisahkan oleh Warga Setempat
Penulis : Ismail
Editor/Publizher : Andi Jumawi

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %